BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dewasa ini
umat Islam sedang mengalami invasi (serangan) dari segala penjuru. Dari fitnah
politik, issu terorisme, sampai serangan yang bersifat intelektual. Semuanya
tersusun secara rapi dan sistematis, sehingga umat Islam tidak begitu merasakan
adanya serangan ini. Berbagai alasan digunakan untuk menutup-nutupi berbagai aksi
semacam ini, dari mulai stabilitas ekonomi, keamanan global, bantuan
kemanusiaan, pembelaan kaum lemah dan lain sebagainya.
Dan yang
paling berbahaya dan harus diwaspadai oleh umat Islam adalah gerakan pemurtadan
besar-besaran melalui pendangkalan akidah dan pengkaburan ajaran-ajaran agama
yang semakin hari semakin gencar dihembuskan oleh mereka. Sebab, untuk
meloloskan skenario ini mereka dibantu oleh agen-agen mereka yang nota bene
adalah putera-puteri Islam, yang dengan sadar atau tidak sadar mereka masuk di
dalamnya. Dalam melakukan aksi ini mereka menggunakan teori vaksinasi (menyuntikkan
bibit penyakit yang sama kedalam tubuh). Yaitu untuk mendangkalkan akidah umat
Islam mereka menggunakan ajaran-ajaran agama pula.
Dengan
alasan reaktualisasi dan reinterpretasi mereka mengaburkan ajaran-ajaran
syariat yang sebenarnya sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Karena
pada dasarnya, syariat diberlakukan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Apa maksud ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya?
2. Apa dasar kaidah ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya?
3. Apa definisi Ijtihad?
4. Apa maksud
kaidah تَصَرُّفُ
الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ ?
5. Apa dasar
kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ
مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kaidah Pertama
الاجتهاد لا
ينقض بالاجتهاد
(Ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya)
Ijtihad
adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihad
merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi
hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi
hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran
Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam problematikanya.
Dengan demikian ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam[1].
Hukum
hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang baru,
sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun
untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil
ijtihad yang baru. Yang demikian ini adalah karena :
1. Nilai
ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil
ijtihad pertama.
2. Apabila
suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang
lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya
kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.
Contoh :
a.
Seseorang shalat
dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat, kemudian pada waktu masuk
shalat berikutnya berubah angapannya tetang kiblat, maka dia harus menghadapi
arah yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib mengqadla shalatnya yang pertama.
Catatan
:
Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabila berlawanan dengan
nash atau ijma’ atau qiyas jaly, atau menurut Al-Iraqy, berlawanan dengan
kaidah-kaidah yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya tidak
berdasarkan suatu dalil.
Dasar Kaidah
Secara legal historis, kaidah ini berlandaskan kasus yang terjadi pada masa
Khalifah Umar ra., beliau terkenal sebagai orang yang banyak menelorkan produk
hukum yang ‘tidak sesuai’ dengan keputusan yang pernah diambil
pendahulunya, Abu Bakar al-Shiddiq ra. Akan tetapi, Umar ra. bersikap sangat
bijak dengan tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. Bahkan,
Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang telah diambilnya sendiri pada
tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai
kejelasan tentang sikapnya ini, Umar mengatakan[2]
:
تلك على ما
قضينا وﻫﺬا على ما نقضي
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku.
Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku
putuskan”.
Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan
ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh
pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang
pernah diambilnya lalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif
inilah, para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad Umar ra.
tidak dapat mengubah hasil ijtihad Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula,
tercetuslah sebuah konsensus (ijmâ’) shahabat, bahwa al-Ijtihâd
lâ yunqadlu bi al-Ijtihâd, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuthi.
Disamping
landasan Ijmâ’ yang telah dikemukakan di atas,
alasan tiadanya penganuliran hasil adalah karena ijtihad kedua belum tentu
lebih kuat dibandingkan ijtihad pertama, disamping karena keduanya sama-sama
diperoleh dari proses ijtihad yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang
membedakan keduanya cuma konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan.
Selain itu, jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang akan
timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana telah
dijelaskan di muka. Hal ini juga akan berdampak pada goyahnya tatanan lembaga
peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis[3].
B.
Kaidah Kedua
تصرف الامام علي الرعية
منوط بالمصلحة
(Kebijakan
seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan)
Tindakan dan
kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan
kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah
pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat. Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i :
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ
الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan
imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
Menurut
beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab ra. yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barro’
bin Azib.
اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ
مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ
رَدَدْتُهُ وَاِذَا اسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku
menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim,
jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku
kembalikan. Dan apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya(menahan diri
padanya)”.[4]
Pemimpin
merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah perkumpulan ataupun suatu badan.
Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu perkumpulan tidak akan berjalan dengan
baik. Hal ini juga ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu haditsnya yang intinya
bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin dirinya sendiri dan dimintai pertanggung
jawabannya. Begitu juga dengan seorang presiden ataupun khalifah menjadi
pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang
dipimpinnya.[2]
Kaidah ini
paling tidak bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan
haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat. Karena seorang
pemimpin merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya.
Salah satu
bentuk kekuasaan yang diperoleh oleh seorang penguasa adalah memutuskan suatu
perkara atau menentukan sebuah kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada
kaidah diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan
apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi yang baik, yang membawa
kemashlahatan kepada yang dipimpinnya. Keputusan presiden haruslah membawa
kemaslahatan bagi rakyatnya.
Kaidah
diatas merupakan kaidah yang ditegaskan oleh imam syafi’i. Imam syafi’i
berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah kepemerintahan
merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya anak yatim.
Sumber
Kaidah
Kaidah ini
merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam
implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat
atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah
yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al
maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh
dari sekedar pengertian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah
segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok
atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini
sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek
kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk
mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As
Syura ayat 38 yang berbunyi :
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
Artinya: Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Kaidah ini
menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat
bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau
kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-Nisa ayat 58 yang
berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Artinya : Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad
adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Ijtihad merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam
konstruksi hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja
konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini,
dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam
problematikanya. Dengan demikian ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.
Kebijakan
seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. Tindakan dan
kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan
kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah
pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.
B.
Saran
Penyusun menyadari kekurangan sempurnanya tulisan ini,
itu semua karena kurangnya ilmu pengetahuan yang penyusun miliki. Oleh karena
itu diharapkan kritik serta saran yang bersifat memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya terutama
bagi penyusun sendiri. Amiinn.
DAFTAR PUSTAKA
al-Suyuti, Abd al-Rahman. tt. al-Ashbah wa al-Naza’ir. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah.
al-Rahman bin Nasir al-Sa’adi, Abd. tt. Sharh Nazm al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah.Maktabah Shamelah.
Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani, Abu al-Fayd. 1997. al-Fawa’d
al-Janiyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam
dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana
Pernada Media group
Al Jazuli. 2003. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta : Prenada
Media
Riyad
bin Mansur al-Khulayfi. tt. al-Minhaj
fi Qawa’id al-Fiqhiyyah. t.t.
Maktabah Shamelah
[1]
Dikutip dari buku Formulasi Nalar Fiqh telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, Juz II, Hal. 5, Santri Salaf Press.
[2]
`Abd al-Rahmân
Jalâluddîn al-Suyûthiy, al-Asybâh
wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-`Ilmiyah, 1990), h. 101.
[3]
Abu al-Faydl
Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, AI-Fawâ’id
al-Janiyah, (Beirut: Dar
al-Mahajjah al-Baydlâ’, 2008), h. 293.
[4] H. Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqh. Surabaya: Kalam
Mulia, hlm. 61-62
[5] Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang
yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut
memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan
masyarakat. Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan
yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat. Mengenai keadilan ini,
filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama
adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive
memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya
masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan
secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada
siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan
menajadi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum
Islam
0 komentar:
Posting Komentar