"kumpulan makalah." "makalah filsafat pendidikan" "Filsafat Pendidikan Islam" "Filsafat Pendidikan" "makalah Filsafat Pendidikan Islam"

Rabu, 18 Mei 2016

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهادkaidah Fiqhiyyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Dewasa ini umat Islam sedang mengalami invasi (serangan) dari segala penjuru. Dari fitnah politik, issu terorisme, sampai serangan yang bersifat intelektual. Semuanya tersusun secara rapi dan sistematis, sehingga umat Islam tidak begitu merasakan adanya serangan ini. Berbagai alasan digunakan untuk menutup-nutupi berbagai aksi semacam ini, dari mulai stabilitas ekonomi, keamanan global, bantuan kemanusiaan, pembelaan kaum lemah dan lain sebagainya.
Dan yang paling berbahaya dan harus diwaspadai oleh umat Islam adalah gerakan pemurtadan besar-besaran melalui pendangkalan akidah dan pengkaburan ajaran-ajaran agama yang semakin hari semakin gencar dihembuskan oleh mereka. Sebab, untuk meloloskan skenario ini mereka dibantu oleh agen-agen mereka yang nota bene adalah putera-puteri Islam, yang dengan sadar atau tidak sadar mereka masuk di dalamnya. Dalam melakukan aksi  ini mereka menggunakan teori vaksinasi (menyuntikkan bibit penyakit yang sama kedalam tubuh). Yaitu untuk mendangkalkan akidah umat Islam mereka menggunakan ajaran-ajaran agama pula.
Dengan alasan reaktualisasi dan reinterpretasi mereka mengaburkan ajaran-ajaran syariat yang sebenarnya sudah jelas dan  tidak perlu diperdebatkan. Karena pada dasarnya, syariat diberlakukan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia.
B.            Identifikasi Masalah
1.    Apa maksud ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya?
2.    Apa dasar kaidah ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya?
3.    Apa definisi Ijtihad?
4.    Apa maksud kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ  ?
5.    Apa dasar kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ  ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Kaidah Pertama  
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
(Ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya)
Ijtihad adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihad merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam problematikanya. Dengan demikian ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam[1].
Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang baru, sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini adalah karena :
1.             Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad pertama.
2.             Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.

Contoh :
a.              Seseorang shalat dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat, kemudian pada waktu masuk shalat berikutnya berubah angapannya tetang kiblat, maka dia harus menghadapi arah yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib mengqadla shalatnya yang pertama.

Catatan :
            Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabila berlawanan dengan nash atau ijma’ atau qiyas jaly, atau menurut Al-Iraqy, berlawanan dengan kaidah-kaidah yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya tidak berdasarkan suatu dalil.

Dasar Kaidah
Secara legal historis, kaidah ini berlandaskan kasus yang terjadi pada masa Khalifah Umar ra., beliau terkenal sebagai orang yang banyak menelorkan produk hukum yang ‘tidak sesuai’ dengan keputusan yang pernah diambil pendahulunya, Abu Bakar al-Shiddiq ra. Akan tetapi, Umar ra. bersikap sangat bijak dengan tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. Bahkan, Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang telah diambilnya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai kejelasan tentang sikapnya ini, Umar mengatakan[2] :
تلك على ما قضينا وﻫﺬا على ما نقضي
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku. Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku putuskan”.
Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang pernah diambilnya lalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif inilah, para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad Umar ra. tidak dapat mengubah hasil ijtihad Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetuslah sebuah konsensus (ijmâ’) shahabat, bahwa al-Ijtihâd lâ yunqadlu bi al-Ijtihâd, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuthi.
Disamping landasan Ijmâ’ yang telah dikemukakan di atas, alasan tiadanya penganuliran hasil adalah karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad pertama, disamping karena keduanya sama-sama diperoleh dari proses ijtihad yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya cuma konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu, jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagai­mana telah dijelaskan di muka. Hal ini juga akan berdampak pada goyahnya tatanan lembaga peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis[3].

B.            Kaidah Kedua
تصرف الامام علي الرعية منوط بالمصلحة
(Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan)
Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat. Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i :
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
Menurut beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab ra. yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barro’ bin Azib.
اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَا اسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya(menahan diri padanya)”.[4]
Pemimpin merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah perkumpulan ataupun suatu badan. Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu perkumpulan tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini juga ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu haditsnya yang intinya bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin dirinya sendiri dan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu juga dengan seorang presiden ataupun khalifah menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya.[2]
Kaidah ini paling tidak bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat. Karena seorang pemimpin merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya.
Salah satu bentuk kekuasaan yang diperoleh oleh seorang penguasa adalah memutuskan suatu perkara atau menentukan sebuah kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada kaidah diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi yang baik, yang membawa kemashlahatan kepada yang dipimpinnya. Keputusan presiden haruslah membawa kemaslahatan bagi rakyatnya.
Kaidah diatas merupakan kaidah yang ditegaskan oleh imam syafi’i. Imam syafi’i berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah kepemerintahan merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya anak yatim.

Sumber Kaidah
Kaidah ini merupakan kaidah (fikih) yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengertian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi :
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. An-Nisa ayat 58 yang berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.[5]













BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Ijtihad adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihad merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). Tanpa peran ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam problematikanya. Dengan demikian ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.

Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.

B.            Saran
Penyusun menyadari kekurangan sempurnanya tulisan ini, itu semua karena kurangnya ilmu pengetahuan yang penyusun miliki. Oleh karena itu diharapkan kritik serta saran yang bersifat memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya terutama bagi penyusun sendiri. Amiinn.





DAFTAR PUSTAKA
al-Suyuti, Abd al-Rahman. tt. al-Ashbah wa al-Naza’ir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah.
al-Rahman bin Nasir al-Sa’adi, Abd. tt. Sharh Nazm al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.Maktabah Shamelah.
Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani, Abu al-Fayd. 1997. al-Fawa’d al-Janiyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group
Al Jazuli. 2003. Fiqih siyasah, cetakan kdua. Jakarta : Prenada Media
Riyad bin Mansur al-Khulayfi. tt. al-Minhaj fi Qawa’id al-Fiqhiyyah. t.t. Maktabah Shamelah




[1]  Dikutip dari buku Formulasi Nalar Fiqh telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Juz II, Hal. 5, Santri Salaf Press.
[2]  `Abd al-Rahmân Jalâluddîn al-Suyûthiy, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1990), h. 101.
[3]   Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, AI-Fawâ’id al-Janiyah, (Beirut: Dar al-Mahajjah al-Baydlâ’, 2008), h. 293.
[4]   H. Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. Surabaya: Kalam Mulia, hlm. 61-62
[5]       Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum dalam satu kalangan masyarakat. Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat. Mengenai keadilan ini, filsafat Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajadi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Filsafat Pendidikan Islam | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com